Rabu, 13 Juni 2012




Apakah Negeri ini Sudah Merdeka.???

67 Tahun Negeri ini telah terbebas dari tangan penjajah, namun banyak penghuni jalanan di negeri ini yang menangis karena lapar, kedinginan karena tak punya tempat tinggal. Meniti perjalanan panjang sejara bangsa ini, begitu tragis. Perjuangan para pahlawan melawan para penjahat keji yang menindas negeri ini, tak mengenal waktu dan apa yang ia korbankan. Tetesan darah menjadi warna penanda peperangan, korban berjatuhan pun menjadi seni dalam perjuangan. Mereka hingga lupa dakan tugas dirinya kepada sanak familinya, karena mereka punya satu tekat, yakni anak dan cucu mereka tak mau hidup dalam jajahan.

Penantian panjang para rakyat di saat itu menanti datangnya kemerdekaan, sangat prihatin. Tangisan menjadi nyanyian mereka, teriakan pun menjadi sahutan penanda perang di mulai saat itu. Keringat dan darah menjadi penghujan yang membasahi Bumi. Tak sehelai kata menyerah pun dari mulut dan hati mereka. Berbekalkan bambu runcing, seni gerilya dalam perang pun di mulai.

Banyak harta yang di rampas, istri mereka menjadi bulan-bulanan pelampias nafsu para penjajah, anak mereka menjadi umpan binatang buas. Sungguh kejam dan tragis bila di bayangkan.

Namun Kini tragedi itu hanya menjadi sejarah yang tersirat dalam naluri dan penghias kertas semata. Mereka tak sadar akan perjuangan para pahlawan hingga kita bisa menghirup udara Merdeka di saat ini.

Keegoisan melanda negeri ini, Para pemimpin di sana saling memperebutkan kedudukan tertinggi di negei ini menjadi layaknya penguasa. Mereka tak memandang, mereka tak menyaksikan. Banyak di antara kita ini masih menangis karena lapar, banyak pemuda tak kerja, mereka terkekang, menjerit, dan berteriak. Air mata menghujani bumi Indonesia, tak ada alasan lain, mereka menangis karena hanyalah urusan perut semata. Penderitaan ada di mana-mana, gunung sampah pun menjadi tempat bermain ria anak-anak indonesia, kolong jembatan pun menjadi tempat bertdeuh teristimewa bagi mereka yang terpuruk.

Ini surga mereka, surga bagi anak kolong jembatan yang tak memiliki martabat. Setoreh cerita yang mereka jalani sungguh memilukan, tak ada kebahagiaan bagi mereka. Tak sama seperti mereka-mereka yang duduk di gedung pencakar langit sana, mereka istimewa, mereka bahagia, mereka bermartabat.



Setoreh cerita dalam perjalanan panjang

Mereka berkuasa, apa yang mereka inginkan bag membuka pintu yang tak terkunci. Mencongkakan dada adalah budaya mereka. Namun mereka tak punya apa yang di miliki banya orang, mereka punya harta, tapi mereka tak punya cinta. Mereka punya kekuasaan tapi mereka tak punya kasih sayang. Tanpa setoleh dan melirik mereka yang ada di kanan dan kiri jalan.

Mereka juga manusia, mereka sama, mereka juga punya tujuan dan cita-cita. Hanya karena nasiblah tujuan dan cita-cita mereka tertunda.

Sampah mu, nafkah bagi mereka


Hingga suatu hari ada seorang anak yatim mencurahkan isi hatinya kepada alam,._

“Munajat Seorang Anak Yatim”
Ya Allah, selain kata yatim, tak kutemukan kata anak-anak terlantar dalam al-Qur’an. Tidak pula pernah kudengar kata itu dari para ustad di dalam ceramah-ceramah mereka.
Ya Allah, kusaksikan begitu banyak orang berbuat baik dan derma kepada anak yatim karena janji surga dan imbalan pahala yang begitu banyak, sebagaimana telah Engkau janjikan. Tapi aku bukan anak yatim, ya Allah, karena ayah dan ibuku masih hidup. Mereka berdua ada, walaupun kini tak bersamaku.
Ya Allah, anak-anak yang menjadi yatim kadang mendapatkan warisan dan perhatian, dari paman, bibi, dan sanak keluarganya. Sungguh jauh berbeda kondisi mereka denganku, karena aku memang bukan anak yatim melainkan telah diyatimkan oleh keluargaku, oleh ayah dan ibuku sendiri.
Ya Allah, dalam keterlantaran ini, aku merasa diriku sebagai makhluk yang tak berharga. Mungkin kelahiranku dianggap sebagai beban bagi manusia, padahal Engkau tahu, kelahiranku adalah semata kehendak-Mu, bukan kehendakku. Mengapa Engkau tidak menyebutkan anak terlantar dalam wahyu-Mu, sebagaimana kau sebutkan anak yatim di dalamnya?
Tiap malam datang, kurebahkan diri dan kurelakan kepala kecilku berbantalkan batu. Kudambakan mimpi indah dalam lelap tidurku yang berselimut angin, beralas trotoar, dan beratapkan langit. Dengan jiwa lelah, sungguh taburan gemintang-Mu yang indah menjadi tampak kelam di mataku. Dan mimpi-mimpi indah yang kudambakan, seakan enggan menjadi penghias dan bunga tidurku. Bila pagi menjelang, terasa perutku mulai mengawali nyanyian rutinnya. Dengan langkah lemas dan gontai, aku terpaksa menjadi pengemis. Namun bila rasa ngilu perutku mulai menyiksa, sementara tak seorangpun peduli dan menitipkan secuil belas kasihnya kepadaku, saat itulah aku menjadi pemulung, pengamen, bahkan tanpa berpikir panjang, aku pun nekad menjadi pencopet.
Ya Allah, sebenarnya aku malu menceritakan semua derita yang kualami. Betapa lemahnya aku menolak perlakuan tak adil manusia-manusia bejat, hingga penindasan yang dilakukan para preman yang menjadikanku sapi perah penghasil rupiah buat mereka.
Ya Allah, kubayangkan betapa cerianya wajah-wajah anak seusiaku yang setiap pagi berangkat ke sekolah, ditemani ayah atau ibu mereka. Sementara aku mesti sibuk berkutat dengan urusan haus mulut dan lapar perutku. Saat itulah kadang kusadari, betapa nasib kami memang berbeda. Bagaimana aku yang tak punya penjamin dan pelindung akan dipercaya sekolah manapun? Apa yang mesti kukatakan andai mereka bertanya siapa ayah-ibuku, dan dimanakah tempat tinggal atau rumahku? Bahkan bila keajaiban dapat terjadi, dengan tangan dan hati terbuka pihak sekolah mau menerimaku, bukankah untuk belajar dengan baik, aku memerlukan suasana hati yang tenang? Padahal ketenangan dan kedamaian itu, telah sekian lamanya terenggut paksa dari kehidupan masa kecilku.
Ya Allah, aku tak ubahnya bingkai potret yang terbuang karena telah pecah berkeping-keping. Tak mungkin kurasakan peluang untuk menjalani hari-hariku di panti asuhan, karena aku bukan anak yatim. Seringkali hatiku bertanya, apakah anak jalanan dan anak terlantar bukan bagian dari kehidupan manusia, sedang pada saat yang sama para anak yatim mendapatkan perhatian mereka? Apakah Kau sengaja memilihku untuk menjadi anak-anak terlantar, sementara anak-anak lain hidup ceria? Mengapa harus ada anak terlantar bila Kau ciptakan manusia untuk tujuan-tujuan mulia?
Ya Allah, saat aku sakit, apa yang mesti kuperbuat? Mana mungkin aku kan mengenal obat dan jarum suntik? Bukankah aku terlalu kotor untuk berada di dekat dokter dan perawat berbaju putih-bersih dan rapi itu? Apalagi bila kupaksakan diri datang ke hadapan mereka, mengeluhkan rasa sakit tanpa sepeserpun rupiah di genggamanku, bagaimana mungkin mereka akan menolehku?
Ya Allah, aku tak pernah beribadah karena selama ini memang tak ada yang mengajariku untuk itu. Bahkan seringkali aku ragu, apakah Engkau ada atau tiada, hingga aku perlu menyembah-Mu? Terkadang kuanggap kehidupanku ini tak berarti dan sia-sia. Aku hanya tinggal menunggu waktu seperti binatang yang tak tahu kapan nyawanya akan diambil. Tak ubahnya sapi dan kambing, yang tak tahu-menahu apa sebenarnya arti hari qurban bagi manusia, yang hendak memancing keridhaan dari-Mu. Aku benci sejumlah kata, ya Allah. Dan setiap kata itu masuk ke dalam telinga dan menjalari jiwaku, tak ayal kemarahanku seketika meletup. Kata ‘ayah,’ ‘ibu,’ ‘saudara,’ dan ‘keluarga,’ bagiku adalah palsu. Semua itu tak lebih adalah kata-kata yang tak bermakna, karena aku benar-benar tidak tahu apakah aku ini hasil dari sebuah perkawinan yang sah ataukah aku seorang anak yang lahir dari hubungan main-main dua orang manusia.
Ya Allah, andai Engkau benar-benar ada, andaikan Engkau memang Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Iba, dan Maha Kasih, selain ayah dan ibu kandung yang telah pergi jauh dariku, maka hadirkanlah bagiku seorang ‘ayah’ dan seorang ‘ibu’ yang lain. Hadirkan mereka berdua untuk sekedar mengelus lembut kepalaku saat aku diterpa gelisah, mendekap tubuhku saat aku diserang rasa takut, mengingatkan dan menunjukkan arah yang benar ketika aku menyimpang dan nakal. Yang dengan tulus menyanjungku ketika aku berperilaku baik, yang membawaku ke dokter bila aku sakit, dan menguburkan jasadku andai saja nyawaku tak tertolong lagi. Kuinginkan semua itu, semata agar aku memiliki alasan berharga untuk melanjutkan hidup sebagai hamba-Mu.
Ya Allah, maafkan aku telah berdoa dengan cara anak jalanan, dengan bahasa yang tidak santun di atas trotoar di samping sampah berserak. Beri aku jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut dalam benakku. Selamatkan aku, raih tanganku. Karena seperti yang lain, aku juga ingin punya masa depan, dan menjadi manusia yang berguna bagi manusia lain di dunia ini.



Tak sepatutnya kau berada disini "Panglima" ku...


KEMERDEKAAN ini milik siapa.???


Pernahkah mereka bertanya milik siapa Negeri ini.???


Yang ada hanya senyum tipis untuk menutupi luka mereka..





Siapa mereka..??
Mereka adalah bagian dari kita, mereka yang patut kita tengok.
Negeri ini merintih, namun tak banyak yang merasakan.
Jangan tinggalkan mereka dalam keterpurukan.
Raihlah mereka, Karena mereka bagian dari kita.


BERSATU KARENA KUAT_KUAT KARENA BERSATU