Apakah Negeri ini Sudah Merdeka.???
67 Tahun
Negeri ini telah terbebas dari tangan penjajah, namun banyak penghuni jalanan
di negeri ini yang menangis karena lapar, kedinginan karena tak punya tempat
tinggal. Meniti perjalanan panjang sejara bangsa ini, begitu tragis. Perjuangan
para pahlawan melawan para penjahat keji yang menindas negeri ini, tak mengenal
waktu dan apa yang ia korbankan. Tetesan darah menjadi warna penanda
peperangan, korban berjatuhan pun menjadi seni dalam perjuangan. Mereka hingga
lupa dakan tugas dirinya kepada sanak familinya, karena mereka punya satu
tekat, yakni anak dan cucu mereka tak mau hidup dalam jajahan.
Penantian
panjang para rakyat di saat itu menanti datangnya kemerdekaan, sangat prihatin.
Tangisan menjadi nyanyian mereka, teriakan pun menjadi sahutan penanda perang
di mulai saat itu. Keringat dan darah menjadi penghujan yang membasahi Bumi.
Tak sehelai kata menyerah pun dari mulut dan hati mereka. Berbekalkan bambu
runcing, seni gerilya dalam perang pun di mulai.
Banyak
harta yang di rampas, istri mereka menjadi bulan-bulanan pelampias nafsu para
penjajah, anak mereka menjadi umpan binatang buas. Sungguh kejam dan tragis
bila di bayangkan.
Namun
Kini tragedi itu hanya menjadi sejarah yang tersirat dalam naluri dan penghias
kertas semata. Mereka tak sadar akan perjuangan para pahlawan hingga kita bisa
menghirup udara Merdeka di saat ini.
Keegoisan
melanda negeri ini, Para pemimpin di sana saling memperebutkan kedudukan
tertinggi di negei ini menjadi layaknya penguasa. Mereka tak memandang, mereka
tak menyaksikan. Banyak di antara kita ini masih menangis karena lapar, banyak
pemuda tak kerja, mereka terkekang, menjerit, dan berteriak. Air mata
menghujani bumi Indonesia, tak ada alasan lain, mereka menangis karena hanyalah
urusan perut semata. Penderitaan ada di mana-mana, gunung sampah pun menjadi
tempat bermain ria anak-anak indonesia, kolong jembatan pun menjadi tempat
bertdeuh teristimewa bagi mereka yang terpuruk.
Ini
surga mereka, surga bagi anak kolong jembatan yang tak memiliki martabat.
Setoreh cerita yang mereka jalani sungguh memilukan, tak ada kebahagiaan bagi
mereka. Tak sama seperti mereka-mereka yang duduk di gedung pencakar langit
sana, mereka istimewa, mereka bahagia, mereka bermartabat.
Mereka
berkuasa, apa yang mereka inginkan bag membuka pintu yang tak terkunci. Mencongkakan
dada adalah budaya mereka. Namun mereka tak punya apa yang di miliki banya
orang, mereka punya harta, tapi mereka tak punya cinta. Mereka punya kekuasaan
tapi mereka tak punya kasih sayang. Tanpa setoleh dan melirik mereka yang ada
di kanan dan kiri jalan.
Mereka
juga manusia, mereka sama, mereka juga punya tujuan dan cita-cita. Hanya karena
nasiblah tujuan dan cita-cita mereka tertunda.
Sampah mu, nafkah bagi mereka
Hingga
suatu hari ada seorang anak yatim mencurahkan isi hatinya kepada alam,._
“Munajat
Seorang Anak Yatim”
Ya Allah, selain kata yatim, tak
kutemukan kata anak-anak terlantar dalam al-Qur’an. Tidak pula pernah kudengar
kata itu dari para ustad di dalam ceramah-ceramah mereka.
Ya Allah, kusaksikan begitu banyak
orang berbuat baik dan derma kepada anak yatim karena janji surga dan imbalan
pahala yang begitu banyak, sebagaimana telah Engkau janjikan. Tapi aku bukan
anak yatim, ya Allah, karena ayah dan ibuku masih hidup. Mereka berdua ada,
walaupun kini tak bersamaku.
Ya Allah, anak-anak yang menjadi
yatim kadang mendapatkan warisan dan perhatian, dari paman, bibi, dan sanak
keluarganya. Sungguh jauh berbeda kondisi mereka denganku, karena aku memang
bukan anak yatim melainkan telah diyatimkan oleh keluargaku, oleh ayah dan
ibuku sendiri.
Ya Allah, dalam keterlantaran ini,
aku merasa diriku sebagai makhluk yang tak berharga. Mungkin kelahiranku
dianggap sebagai beban bagi manusia, padahal Engkau tahu, kelahiranku adalah
semata kehendak-Mu, bukan kehendakku. Mengapa Engkau tidak menyebutkan anak
terlantar dalam wahyu-Mu, sebagaimana kau sebutkan anak yatim di dalamnya?
Tiap malam datang, kurebahkan diri
dan kurelakan kepala kecilku berbantalkan batu. Kudambakan mimpi indah dalam
lelap tidurku yang berselimut angin, beralas trotoar, dan beratapkan langit.
Dengan jiwa lelah, sungguh taburan gemintang-Mu yang indah menjadi tampak kelam
di mataku. Dan mimpi-mimpi indah yang kudambakan, seakan enggan menjadi
penghias dan bunga tidurku. Bila pagi menjelang, terasa perutku mulai mengawali
nyanyian rutinnya. Dengan langkah lemas dan gontai, aku terpaksa menjadi
pengemis. Namun bila rasa ngilu perutku mulai menyiksa, sementara tak
seorangpun peduli dan menitipkan secuil belas kasihnya kepadaku, saat itulah
aku menjadi pemulung, pengamen, bahkan tanpa berpikir panjang, aku pun nekad
menjadi pencopet.
Ya Allah, sebenarnya aku malu
menceritakan semua derita yang kualami. Betapa lemahnya aku menolak perlakuan
tak adil manusia-manusia bejat, hingga penindasan yang dilakukan para preman
yang menjadikanku sapi perah penghasil rupiah buat mereka.
Ya Allah, kubayangkan betapa
cerianya wajah-wajah anak seusiaku yang setiap pagi berangkat ke sekolah,
ditemani ayah atau ibu mereka. Sementara aku mesti sibuk berkutat dengan urusan
haus mulut dan lapar perutku. Saat itulah kadang kusadari, betapa nasib kami
memang berbeda. Bagaimana aku yang tak punya penjamin dan pelindung akan
dipercaya sekolah manapun? Apa yang mesti kukatakan andai mereka bertanya siapa
ayah-ibuku, dan dimanakah tempat tinggal atau rumahku? Bahkan bila keajaiban
dapat terjadi, dengan tangan dan hati terbuka pihak sekolah mau menerimaku,
bukankah untuk belajar dengan baik, aku memerlukan suasana hati yang tenang?
Padahal ketenangan dan kedamaian itu, telah sekian lamanya terenggut paksa dari
kehidupan masa kecilku.
Ya Allah, aku tak ubahnya bingkai
potret yang terbuang karena telah pecah berkeping-keping. Tak mungkin kurasakan
peluang untuk menjalani hari-hariku di panti asuhan, karena aku bukan anak
yatim. Seringkali hatiku bertanya, apakah anak jalanan dan anak terlantar bukan
bagian dari kehidupan manusia, sedang pada saat yang sama para anak yatim
mendapatkan perhatian mereka? Apakah Kau sengaja memilihku untuk menjadi
anak-anak terlantar, sementara anak-anak lain hidup ceria? Mengapa harus ada
anak terlantar bila Kau ciptakan manusia untuk tujuan-tujuan mulia?
Ya Allah, saat aku sakit, apa yang
mesti kuperbuat? Mana mungkin aku kan mengenal obat dan jarum suntik? Bukankah
aku terlalu kotor untuk berada di dekat dokter dan perawat berbaju putih-bersih
dan rapi itu? Apalagi bila kupaksakan diri datang ke hadapan mereka, mengeluhkan
rasa sakit tanpa sepeserpun rupiah di genggamanku, bagaimana mungkin mereka
akan menolehku?
Ya Allah, aku tak pernah beribadah
karena selama ini memang tak ada yang mengajariku untuk itu. Bahkan seringkali
aku ragu, apakah Engkau ada atau tiada, hingga aku perlu menyembah-Mu?
Terkadang kuanggap kehidupanku ini tak berarti dan sia-sia. Aku hanya tinggal
menunggu waktu seperti binatang yang tak tahu kapan nyawanya akan diambil. Tak
ubahnya sapi dan kambing, yang tak tahu-menahu apa sebenarnya arti hari qurban
bagi manusia, yang hendak memancing keridhaan dari-Mu. Aku benci sejumlah kata,
ya Allah. Dan setiap kata itu masuk ke dalam telinga dan menjalari jiwaku, tak
ayal kemarahanku seketika meletup. Kata ‘ayah,’ ‘ibu,’ ‘saudara,’ dan
‘keluarga,’ bagiku adalah palsu. Semua itu tak lebih adalah kata-kata yang tak
bermakna, karena aku benar-benar tidak tahu apakah aku ini hasil dari sebuah
perkawinan yang sah ataukah aku seorang anak yang lahir dari hubungan main-main
dua orang manusia.
Ya Allah, andai Engkau benar-benar
ada, andaikan Engkau memang Tuhan yang Maha Pemurah, Maha Iba, dan Maha Kasih,
selain ayah dan ibu kandung yang telah pergi jauh dariku, maka hadirkanlah
bagiku seorang ‘ayah’ dan seorang ‘ibu’ yang lain. Hadirkan mereka berdua untuk
sekedar mengelus lembut kepalaku saat aku diterpa gelisah, mendekap tubuhku
saat aku diserang rasa takut, mengingatkan dan menunjukkan arah yang benar
ketika aku menyimpang dan nakal. Yang dengan tulus menyanjungku ketika aku
berperilaku baik, yang membawaku ke dokter bila aku sakit, dan menguburkan
jasadku andai saja nyawaku tak tertolong lagi. Kuinginkan semua itu, semata
agar aku memiliki alasan berharga untuk melanjutkan hidup sebagai hamba-Mu.
Ya Allah, maafkan aku telah berdoa
dengan cara anak jalanan, dengan bahasa yang tidak santun di atas trotoar di
samping sampah berserak. Beri aku jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang
bergelayut dalam benakku. Selamatkan aku, raih tanganku. Karena seperti yang
lain, aku juga ingin punya masa depan, dan menjadi manusia yang berguna bagi
manusia lain di dunia ini.
Tak sepatutnya kau berada disini "Panglima" ku...
KEMERDEKAAN ini milik siapa.???
Pernahkah mereka bertanya milik siapa Negeri ini.???
Yang ada hanya senyum tipis untuk menutupi luka mereka..
Siapa mereka..??
Mereka adalah bagian
dari kita, mereka yang patut kita tengok.
Negeri ini merintih,
namun tak banyak yang merasakan.
Jangan tinggalkan mereka dalam keterpurukan.
Raihlah mereka, Karena mereka bagian dari kita.
BERSATU KARENA KUAT_KUAT KARENA BERSATU







Tidak ada komentar:
Posting Komentar